CLICK HERE FOR FREE BLOG LAYOUTS, LINK BUTTONS AND MORE! »

Kamis, 19 April 2012

Jodoh yang sempurna "Kematian"


Konon, di suatu negeri yang tak diketahui namanya, para lelaki berusaha menemukan jodohnya dengan cara berjalan. Sementara para perempuan berusaha menemukan jodohnya dengan cara menunggu. Di sana, hukum yang berlaku sangat sederhana. Sebagaimana diceritakan turun-temurun selama ratusan generasi—

Setiap kali berjalan satu juta langkah, para lelaki akan menemui seorang perempuan. Di sisi lain, setiap seribu purnama penantian, para perempuan akan ditemui seorang laki-laki. Hanya ada lima kesempatan bagi masing-masing mereka. Setiap bertambah satu juta langkah dan menemui perempuan lainnya, para laki-laki tak bisa kembali ke belakang untuk menemui perempuan yang telah ia tinggalkan. Pun setiap kali bertambah seribu purnama, para perempuan tak bisa lagi memanggil laki-laki yang pernah ia tolak di seribu purnama sebelumnya. Mereka harus menentukan siapa jodohnya dalam waktu yang benar-benar tepat, sebab keterlambatan adalah malapetaka.

Ini kisah tentang seorang laki-laki yang terus berjalan… terus berjalan… dan terus berjalan…

Hingga pada saatnya ia telah menempuh sejuta langkah dan bertemulah ia dengan perempuan itu: seorang gadis baik hati yang pandai memasak. Pada pandangan pertama, si laki-laki menyukai si perempuan, begitu juga sebaliknya. Mereka berkenalan dan saling bertukar cerita. Konon, si gadis telah menunggu tiga ribu purnama untuk bertemu dengannya.

Jadi aku bukan yang pertama?” kata si lelaki.

Si perempuan mengangguk, “Yang pertama tidak selalu yang terbaik,” katanya.

Mendengar jawaban si perempuan, laki-laki itu memutuskan untuk pergi. Perjalananku masih jauh, pikirnya.

Ia pun menempuh satu juta langkah berikutnya. Dan bertemulah ia dengan perempuan itu: gadis baik hati yang pandai memasak dan berwajah cantik.

Mungkin kau yang akan jadi jodohku,” kata si laki-laki.

Si perempuan tersipu, tetapi memberikan jawaban yang agak mengecewakan, “Sebaiknya kita berkenalan dulu. Aku tak mau terburu-buru,” katanya, “Ini baru seribu purnama pertamaku.”

Si laki-laki yang kecewa terpaksa harus melanjutkan satu juta langkah ketiganya. Ia terkenang senyum gadis pertama, tetapi ia tak bisa kembali. Dan ia terus berjalan… terus berjalan…

Kaukah yang akan menjadi jodohku?” Pada akhirnya laki-laki itu bertemu dengan seorang perempuan yang memang jauh lebih baik dari dua perempuan yang telah ia temui sebelumnya: seorang gadis baik hati yang pandai memasak, cantik, dan berasal dari keluarga kaya raya.

Saat si gadis mengangguk, ada miliaran bunga yang meledak jadi semesta cinta di hatinya.

Hari demi hari berlalu, mereka pun menjadi sepasang kekasih. Tahun depan mereka merencanakan sebuah pernikahan.

Pernikahan kalian akan menjadi pernikahan paling akbar di kota ini,” kata Ayah si perempuan.

Si laki-laki yang berasal dari keluarga biasa pun harus bekerja keras untuk mewujudkan keinginan orangtua si perempuan.

Kalau kita sudah menikah, kita akan tinggal di sebuah rumah mewah berlantai tiga. Kita akan punya kolam renang, taman belakang, dan kebun tempat kita menanam dan menumbuhkan bunga-bunga,” si perempuan berusaha menjelaskan mimpi-mimpinya.

Pada titik tertentu, si laki-laki akhirnya menyadari bahwa jodoh ternyata bukan sekadar tentang menyatukan ‘dua hati’—tetapi juga dua rumah, dua keluarga, dua mimpi, dua kenyataan, dua harapan, dan seterusnya… Cinta tak sesederhana kata-kata ‘aku cinta kamu dan dunia harus mengerti itu’, cinta adalah ‘aku cinta kamu dan karenanya aku juga harus mengerti dunia-dunia sekelilingmu’.

Satu tahun berlalu, semua rencana mendadak tak tergambarkan. Dan mimpi-mimpi jadi makin samar.

Dalam lelah, si laki-laki akhirnya harus mengucapkan kalimat yang paling tak ingin ia ucapkan, “Aku belum siap, aku perlu satu tahun lagi untuk bekerja dan menebus mimpi-mimpi kita,” katanya.

Si perempuan menggeleng, dan menangis, “Kenyataannya, aku tak bisa lagi menunggu. Aku tak bisa menunggu hingga purnama ke lima ribu.” katanya.

Tersebab keadaan, merekapun berpisah. Si laki-laki terus berjalan… terus berjalan… kali ini makin lambat karena usianya makin bertambah dan tenaganya makin berkurang. Lagi pula, patah hati telah membuatnya tak bersemangat lagi…

Sesampainya di empat juta langkah perjalanan, seorang perempuan cantik, kaya, baik hati, taat beragama, dan pandai memasak menyambutnya. “Kaulah yang aku tunggu-tunggu,” kata si perempuan.

Di sanalah pikiran itu datang: Jika semakin jauh langkah yang kutempuh perempuan yang kutemui semakin sempurna, aku akan meninggalkannya untuk menemukan perempuan lain yang lebih baik lagi.

Si laki-laki pada akhirnya pergi meninggalkan perempuan itu, ia memutuskan menempuh sejuta langkah terakhirnya, kesempatan terakhirnya… Ia ingin menemukan jodohnya yang paling sempurna.

Detik-detik pun terus berguguran, jejak-jejak tertinggal, laki-laki itu telah menjadi makin tua… Dan ternyata, pada langkah ke lima juta, tak ada lagi perempuan cantik yang menunggunya!

Kecuali sebuah makam.

Maafkan,” demikian huruf-huruf tercetak sebagai epitaf di makam itu, “Jodoh paling sempurna yang aku tunggu ternyata bernama kematian.”

Di sanalah laki-laki itu tertawa, dalam sedihnya yang paling pilu, tanpa suara… “Maafkan,” katanya, “Jodoh paling sempurna yang kucari ternyata bernama kematian.”



with love :)
syifani ghina nisrina :)

0 komentar:

Posting Komentar